terutamasehat.blogspot.com - Tadi malam adalah malam yang spesial. Setelah 19 tahun tak lagi ditayangkan, film Pengkhianatan G30S/PKI kembali bisa ditonton di salah satu stasiun televisi nasional, TvOne. Pro kontra tentang pantas tidaknya film tersebut diputar kembali selesai sudah, penasaran publik terpuaskan dan kita kembali bisa mengenang sejarah kelam negeri ini lewat film kolosal tersebut.
Ada satu yang mencuri perhatian dari penayangan film ini. Di bagian akhir film, penonton benar-benar terbawa suasana batin yang dalam dan kelam ketika melihat bagaimana para Jenderal yang diculik dan dibunuh, satu-persatu diangkat dari sumur tua di kawasan Lubang Buaya. Momen itu begitu menyanyat hati dengan alunan lagu "Gugur Bunga di Taman Bakti" yang mengiringi pidato Mayjen Soeharto dan Jenderal A.H. Nasution.
Bila kita ingat lagu "Untuk Kita Renungkan" ciptaan Ebieth G Ade sebagai 'lagu wajib' ketika Indonesia sedang tertimpa bencana alam, maka lagu yang kemudian lebih dikenal dengan judul singkat "Gugur Bunga" ini bisa dikatakan adalah lagu wajib yang selalu mengalun pada peristiwa-peristiwa mengenang pahlawan atau kehilangan tokoh nasional. Apa latar belakang Ismail Marzuki menciptakan lagu ini hingga bisa menebar aura kesedihan yang begitu kental?
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Reff :
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
Gugur bungaku di taman bakti
Di haribaan pertiwi
Harum semerbak menambahkan sari
Tanah air jaya sakti
Membaca liriknya saja kita telah merasakan kesedihan yang dalam. Ismail Marzuki benar-benar mencurahkan seluruh perasaannya kedalam lirik dan nada lagu. Ia mulai menggubah lagu "Gugur Bunga di Taman Bakti" pada tahun 1945, sebagai lagu penghormatan kepada para pejuang kemerdekaan yang gugur di medan tempur selama masa Revolusi Nasional Indonesia.
Lagu ini menceritakan tentang kematian seorang prajurit dan perasaan sedih orang yang ditinggalkannya. Ia mewakili perasaan ribuan keluarga pejuang yang kehilangan orang terkasihnya. Butuh waktu lama bagi Ismail Marzuki untuk menggubah lagu ini. Konon ia mengurung diri di kamar cukup lama hingga lagu selesai.
Isolasi diri Ismail Marzuki berbuah manis, lagu ciptaannya melegenda dan hingga hari ini masih tetap menjadi lagu nasional paling syahdu yang dimiliki Indonesia.
Dalam buku 'Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965', dikisahkan lagu 'Gugur Bunga' inilah lagu yang terakhir di dengar oleh Brigjen DI Panjaitan pada tanggal 30 September 1965 malam. Saat itu anak sulungnya, Catherine, merupakan salah seorang anggota paduan suara Sekolah Tarakanita yang menyanyikannya di Istora Senayan dan ditayangkan di televisi.
Di ruang tamu rumahnya, DI Panjaitan bersama keluarga mendengarkan lagu tersebut dalam diam termenung. "Itu, kan lagu tentang para pahlawan yang gugur di medan tempur. Coba bayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan," salah satu putrinya, Masya Arestina, berkomentar. Panjaitan menjawab singkat, "Ya sedih, lah." Dan tak disangka kesedihan tersebut hinggap di keluarga DI Panjaitan pada 1 Oktober 1965 dini hari. DI Panjaitan ditembak dan jenazahnya dibawa ke Lubang Buaya oleh anggota pasukan Cakrabirawa yang berkhianat.
Lagu Gugur Bunga menjadi sangat fenomenal. Ia tiap tahun diperdengarkan dalam upacara peringatan kemerdekaan Indonesia. Menurut seorang veteran pembela kemerdekaan, lagu Gugur Bunga juga dilantunkan sebagai sambutan ketika pasukan TNI baru pulang dari medan perang Timor Timur, dimana banyak tentara yang jadi korban.
Lagu ini seolah menampar kita dengan kedalaman makna liriknya agar kita terus berjuang. Bertanya tentang apa yang telah kita lakukan untuk negeri tercinta. Dan Mengajarkan kepada kita bahwa apa yang telah kita korbankan untuk negeri ini tak sebanding dengan pengorbanan para pahlawan yang telah memberikan jiwa raganya untuk Indonesia.
Ada satu yang mencuri perhatian dari penayangan film ini. Di bagian akhir film, penonton benar-benar terbawa suasana batin yang dalam dan kelam ketika melihat bagaimana para Jenderal yang diculik dan dibunuh, satu-persatu diangkat dari sumur tua di kawasan Lubang Buaya. Momen itu begitu menyanyat hati dengan alunan lagu "Gugur Bunga di Taman Bakti" yang mengiringi pidato Mayjen Soeharto dan Jenderal A.H. Nasution.
Bila kita ingat lagu "Untuk Kita Renungkan" ciptaan Ebieth G Ade sebagai 'lagu wajib' ketika Indonesia sedang tertimpa bencana alam, maka lagu yang kemudian lebih dikenal dengan judul singkat "Gugur Bunga" ini bisa dikatakan adalah lagu wajib yang selalu mengalun pada peristiwa-peristiwa mengenang pahlawan atau kehilangan tokoh nasional. Apa latar belakang Ismail Marzuki menciptakan lagu ini hingga bisa menebar aura kesedihan yang begitu kental?
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Reff :
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
Gugur bungaku di taman bakti
Di haribaan pertiwi
Harum semerbak menambahkan sari
Tanah air jaya sakti
Membaca liriknya saja kita telah merasakan kesedihan yang dalam. Ismail Marzuki benar-benar mencurahkan seluruh perasaannya kedalam lirik dan nada lagu. Ia mulai menggubah lagu "Gugur Bunga di Taman Bakti" pada tahun 1945, sebagai lagu penghormatan kepada para pejuang kemerdekaan yang gugur di medan tempur selama masa Revolusi Nasional Indonesia.
Lagu ini menceritakan tentang kematian seorang prajurit dan perasaan sedih orang yang ditinggalkannya. Ia mewakili perasaan ribuan keluarga pejuang yang kehilangan orang terkasihnya. Butuh waktu lama bagi Ismail Marzuki untuk menggubah lagu ini. Konon ia mengurung diri di kamar cukup lama hingga lagu selesai.
Isolasi diri Ismail Marzuki berbuah manis, lagu ciptaannya melegenda dan hingga hari ini masih tetap menjadi lagu nasional paling syahdu yang dimiliki Indonesia.
Dalam buku 'Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965', dikisahkan lagu 'Gugur Bunga' inilah lagu yang terakhir di dengar oleh Brigjen DI Panjaitan pada tanggal 30 September 1965 malam. Saat itu anak sulungnya, Catherine, merupakan salah seorang anggota paduan suara Sekolah Tarakanita yang menyanyikannya di Istora Senayan dan ditayangkan di televisi.
Di ruang tamu rumahnya, DI Panjaitan bersama keluarga mendengarkan lagu tersebut dalam diam termenung. "Itu, kan lagu tentang para pahlawan yang gugur di medan tempur. Coba bayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan," salah satu putrinya, Masya Arestina, berkomentar. Panjaitan menjawab singkat, "Ya sedih, lah." Dan tak disangka kesedihan tersebut hinggap di keluarga DI Panjaitan pada 1 Oktober 1965 dini hari. DI Panjaitan ditembak dan jenazahnya dibawa ke Lubang Buaya oleh anggota pasukan Cakrabirawa yang berkhianat.
Dikirim oleh Tipsiana Ina pada 30 September 2017
Lagu Gugur Bunga menjadi sangat fenomenal. Ia tiap tahun diperdengarkan dalam upacara peringatan kemerdekaan Indonesia. Menurut seorang veteran pembela kemerdekaan, lagu Gugur Bunga juga dilantunkan sebagai sambutan ketika pasukan TNI baru pulang dari medan perang Timor Timur, dimana banyak tentara yang jadi korban.
Lagu ini seolah menampar kita dengan kedalaman makna liriknya agar kita terus berjuang. Bertanya tentang apa yang telah kita lakukan untuk negeri tercinta. Dan Mengajarkan kepada kita bahwa apa yang telah kita korbankan untuk negeri ini tak sebanding dengan pengorbanan para pahlawan yang telah memberikan jiwa raganya untuk Indonesia.
Gugur Bunga di Taman Bakti, Lagu Nasional Paling Menyanyat Hati
Reviewed by JMG
on
September 30, 2017
Rating:
No comments: